Di era 1990 hingga awal 2000-an, nama Hakeem Olajuwon
begitu memukau publik Amerika Serikat (AS), khususnya bagi penggemar
basket NBA. Pasalnya, sosok dengan tinggi badan 213 sentimeter itu
berhasil menampilkan permainan indah dan menawan. Tak heran, bila
namanya selalu disejajarkan dengan pebasket andal NBA lainnya, seperti
Abdul Kareem Jabbar dan Michael Jordan.
Bahkan, klub Houston Rockets yang
dibelanya sejak tahun 1984, berhasil dibawanya untuk meraih gelar juara
di tahun 1994 dan 1995. Dan, Olajuwon sendiri dinobatkan sebagai pemain
terbaik NBA di tahun 1994. Pada musim kompetisi berikutnya, ia pun
selalu menjadi langganan untuk masuk di tim NBA All Stars.
Karena kebolehannya dalam menunjukkan
aksi yang memukau, Olajuwon termasuk salah satu dari lima pemain tengah
legendaris NBA, bersama dengan Bill Russell, Wilt Chamberlain, Kareem
Abdul-Jabbar, dan Shaquille O’Neal. Selama
bermain di ajang NBA (1984-2002), ia tercatat pernah memperkuat dua klub
berbeda, yaitu Houston Rockets dan Toronto Raptors. Pada tahun 2003,
Olajuwon menyatakan pensiun dari dunia yang telah membesarkan namanya
itu.
Muslim
Kini, setelah pensiun, Olajuwon lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan dakwah dan mendalami Islam.
Alasannya untuk mendalami Islam itu setelah terjadi satu peristiwa di
tahun 2000 yang membekas hingga saat ini.
Suatu malam tahun 2000, ia mendengarkan
sebuah bacaan ayat Alquran dari kaset. Semakin lama ia makin tertarik
dengan bacaan tersebut. Ia kemudian mencari tahu dan mencoba
mempelajarinya. Dan, pada suatu hari, di sebuah kamar hotel di Miami,
Olajuwon dengan khusyuk membaca ayat-ayat Alquran. “Sebenarnya saya
malu, sebab suara saya terdengar sumbang dan tinggi,” katanya seperti
dikutip dari situs beliefnet.com.
“Tapi, tak mengapa. Ketika mulut Anda
sudah melafalkannya, Anda akan merasakan betapa indahnya kandungan
bahasa Alquran,” kata Olajuwon lagi. Dengan Kitab suci tersebut,
Olajuwon merasakan sedang berkomunikasi dengan Allah. Itulah yang
membuatnya makin dekat dengan Tuhan Yang Maha Pencipta. Bahkan, sejak
saat itu, ia pun menambahkan sebuah huruf di depan namanya. Yakni, dari
Akeem, menjadi Hakeem. Sebuah nama yang diambil dari salah satu Asmaul
Husna, yang berarti seorang penegak hukum.
Sejak menyatakan diri mendalami Islam,
Olajuwon benar-benar menjalankannya dengan penuh perhatian. Karenanya,
orang mengenal Olajuwon sebagai pribadi Muslim yang taat. Bahkan, ia
selalu membawa kompas yang bisa menunjukkan arah kiblat di arena basket
saat ia akan bertanding atau sedang latihan; ia tak pernah lupa memasang
alarm pengingat waktu shalat setiap harinya; ia membaca Alquran di
pesawat; dan ia mengunjungi masjid di setiap kota yang disinggahinya
kala bertanding, terutama untuk shalat Jumat.
Hebatnya lagi, gaji yang didapatkan dari
hasil keringat selama bermain basket, ia mendermakan pendapatannya itu
sekitar 20 persen untuk kaum miskin. “Tuhan datang pada kita, dan surga
tidaklah murah,” ujarnya.
Pada bulan Ramadhan, Olajuwon tak pernah
batal berpuasa, bahkan ketika ia bertanding untuk klubnya, kecuali ia
sakit. Puasa sama sekali tidak mempengaruhi permainannya di lapangan.
“Tenaga saya sangat kuat, bahkan meledak. Ketika waktu berbuka tiba, air
minum terasa sangat nikmat,” katanya.
Jika sebagian olahragawan Muslim
menganggap berpuasa di bulan Ramadhan sebagai ganjalan, Olajuwon malah
menganggapnya berkah. Sebab, dengan datangnya bulan suci Ramadhan, umat
Muslim justru sangat diistimewakan. “Karena inilah bulan penuh rahmat,
ampunan, dan saatnya berdekatan dengan Tuhan,” ujarnya, “Anda bisa
memperbanyak amalan di bulan ini, membaca Alquran lebih sering, dan
banyak belajar.”
Hakeem Olajuwon berasal dari keluarga
kelas menengah. Orangtuanya merupakan pengusaha semen. Semasa tinggal di
Lagos, Olajuwon tidak pernah mendapatkan pendidikan agama dari kedua
orangtuanya. Keluarganya tinggal di lingkungan yang sebagian besar
warganya adalah Muslim.
Selepas menamatkan pendidikan sekolah
menengah atas (SMA), Olajuwon memutuskan hijrah ke Amerika Serikat (AS)
guna melanjutkan pendidikan di Universitas Houston. Saat berkuliah di
Universitas Houston, ia tergabung dalam tim bola basket kampus, dan
berhasil membawa perguruan tinggi ini menjuarai pertandingan antarkampus
di Amerika sebanyak dua kali.
Seperti halnya saat tinggal di Lagos,
ketika tinggal di Houston pun Olajuwon selalu berdekatan dengan masjid.
Bahkan, ketika datang pertama kali ke negeri Paman Sam ini, suara azan
dari masjid pula yang membuatnya jatuh cinta. Sejak saat itu, ia pun
selalu menyempatkan datang ke berbagai seminar dan pengajian di sela
waktu sibuknya. Semua itu ia lakukan untuk mempelajari Islam secara
lebih mendalam.
Bagi Olajuwon, berkarier dalam bidang apa
pun, harus mendedikasikan hidupnya untuk agama yang diyakini
kebenarannya. Boleh jadi, karena alasan itu pula yang mendorong Olajuwon
terpaksa menceraikan sang istri, Lita Spencer, yang pernah menjadi
teman sekampusnya dan yang telah dikaruniai seorang puteri bernama
Abisola.
Pada tahun 1995, ia menikah lagi dengan
Dalia Asafi. Dari pernikahan keduanya ini, ia memiliki tiga orang
puteri: Asafi, Rahma, dan Aisha. Olajuwon selalu mendidik keempat
puterinya untuk menjadi Muslimah yang taat.
Meski menyandang dua status minoritas di
Amerika-sebagai warga berkulit hitam dan Muslim, namun Olajuwon mengaku
hidup damai dalam Islam. “Allah berfirman dalam Alquran agar kita tak
saling menghinakan sesama. Islam tidak memandang warna kulit dan status.
Jika saya pergi ke masjid, meski seorang pebasket yang kaya dan
terkenal, tetap saja saya merasa minder kalau bertemu imam. Ia lebih
baik dariku. Ini soal pengetahuan,” paparnya.
Ingin Menjadi Dai
Olajuwon mengaku gemar mendiskusikan
masalah keimanan dengan rekan satu timnya, terutama penganut Kristen
yang taat. Beberapa di antara mereka, menurut Olajuwon, menanggapi
dengan baik saat dirinya berbicara mengenai Islam. Bahkan, obrolan di
antara teman ini kerap masuk ke persoalan perbandingan keagamaan.
Suatu hari, misalnya, rekan setimnya yang
beragama Kristen mengoloknya karena menolak menyantap daging babi.
Olajuwon balik berkata, “Kalau kamu menaati perintah Injil, kamu
seharusnya juga tidak boleh memakannya.”
Bagi Olajuwon, Islam adalah sikap
istikamah. Itulah yang membuatnya tidak pernah lupa untuk menjalankan
shalat lima kali setiap hari. Ia juga kerap berzikir untuk mengawali
setiap gerak hidupnya. “Kamu tak akan lupa walau sedetik pun. Ada
komunikasi terus-menerus, dan kamu tak akan kehilangan kesadaran ini.
Apapun yang saya lakukan, saya menganggapnya sebagai shalat,” katanya.
Ia mengaku merasa beruntung hidup di
Amerika. Karena di negara Adidaya tersebut, kata Olajuwon, setiap Muslim
dengan segala kemudahan akses, bisa belajar Islam dari dasarnya, bukan
semata mempraktikkan budaya Islam yang dibawa dari negara asal mereka.
“Di sini saya punya banyak kesempatan
berinteraksi dengan Muslim dari berbagai belahan bumi. Mereka membawa
ilmu baru dari budaya dan latar belakang berbeda, lalu memperkenalkannya
sebagai bagian dari Islam. Tetapi, setelah saya mempelajari Alquran,
ternyata tidak semua yang mereka perkenalkan itu Islami,” tukasnya.
Kesadaran untuk selalu mengingat Tuhan
ini menyertainya ke arena bola basket. Islam mengajarinya untuk
mengedepankan kasih sayang. Itu berarti, “Anda harus bermain sportif,
jangan curang. Sebab pertanggungjawabannya kepada Tuhan,” kata Olajuwon.
Lelaki yang pernah menjadi wakil ketua
Islamic Da’wah Center ini suatu ketika pernah ditanya kesediaannya
menjadi seorang imam. Dan jawabannya, “Itu butuh tanggungjawab besar.”
Kalau diberi pilihan, ia mungkin memilih jadi dai. “Saya sedang
menjalaninya sekarang,” tambahnya.
Sumber : Kisah Muallaf
0 komentar:
Posting Komentar