Pages

 

Sabtu, 27 Juli 2013

Berawal Dari Tonton Film, Lianus Mengenal Islam

1 komentar



Hidayah bisa  datang kapan saja dan melalui medium apa saja. Siapa sangka, melalui film tentang peristiwa penyaliban Yesus Kristus, pemuda bernama Lianus Laiya, dipertemukan dengan Islam. Lianus muda yang tengah dipersiapkan untuk menjadi biarawan atau pelayan gereja, terilhami sejumlah pertanyaan yang selanjutnya menuntut dia mengenal dan mendalami Islam. "Karena Allah berkhendak, saya pun mendapatkan hidayah dan diselamatkan saya oleh Allah SWT  untuk menjadi seorang Muslim,”

Lianus Laiya, lahir 25 Oktober 1981 di Nias, Sumatera Utara. Dia lahir di tengah keluarga Katholik yang taat. Sebagian dari keluarganya merupakan pendakwah. Karena itu, tak heran, sebagai anak lelaki tertua, oleh keluarganya, Lianus dipersiapkan untuk meneruskan tradisi keluarga sebagai penggiat gereja.

“Namun, Allah SWT memalingkan langkah saya untuk mendapatkan hidayah,” ungkap dia.

Lianus besar di daerah dimana Muslim hanya sedikit jumlahnya. Inilah yang membuat Lianus tidak pernah mengenal Islam.  Bahkan bila bertemu dengan simbol-simbol Islam seperti pakaian Muslim, maka tak tanggung-tanggung bakal dia bakar.

Suatu hari, ia menonton film penyaliban Yesus Kristus. Saat mengikuti film itu, Lianus melihat adegan Yesus saat memasuki gereja, secara spontan Yesus mengangkat kedua tangannya sembari memberikan ceramah kepada para murid-muridnya. Pertanyaan segera mengemuka dalam diri Lianus.

“Mengapa agama saya dalam kehidupan sehari-hari tidak sama dengan apa yang dilakukan Yesus, Misalnya saja, dalam gereja, Yesus berdoa sembari menengadahkan kedua tangan, bukan bernyanyi,” tanya Lianus dalam hati.

Rasa penasaran iu semakin bertambah ketika Yesus hendak ditangkap. Dalam film itu, cerita Lianus, Yesus mengatakan akan datang yang menggantikannya. Pernyataan Yesusdirenungkan betul oleh Lianus. Lalu dia secara spontan bertanya kepada pastornya. “ Siapa yang akan menggantikan Yesus?” Lalu seketika pastor menjawab “Messiah”. “Lho, Yesus kan Messias juga?” tanyanya kembali.

“Saya pun tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti, setelah itu," ujarnya.

***


Setamat SMP, Lianus diboyong pamannya ke Medan, Sumatera Utara. Kepindahannya dari Nias ke Medan, Lianus membawa dirinya tiga bekal pertanyaan. Pertanyaan pertama, mengapa cara beribadah agamanya  tidak sesuai dengan Yesus.  kedua,  mengapa Tuhan bisa punya anak, lalu anak itu menjadi Tuhan dan kemudian meninggal. Ketiga, selama di Medan, Dia sering mendengar  rekaman dai kondang yang menceritakan kisah para Nabi mulai dari Nabi Adam hingga ke Muhammad SAW. “Kok Islam bisa punya cerita seperti itu. Saya tidak tahu,” tanya.

Di Medan, Lianus tinggal di dekat Masjid. Secara otomatis, dia selalu mendengarkan pengajian tiap sore. Lianus yang tengah menginjak bangku sekolah menengah begitu senang memperhatikan umat Islam tengah berwudhu.

Tanpa sadar, apa yang dia lihat itu mirip dengan adegan film yang ia tonton. “Lho inikan yang saya lihat dari film tersebut. Saat itu, Nabi Musa AS meminta umatnya untuk membersihkan kaki, muka, tangan,” kenangnya.

Sejak itu, Lianus  aktif mengikuti aktivitas masjid. Ia diterima dengan baik, kendati belum bersyahadat.

Perubahan Lianus dibaca sang paman. ia kemudian memboyong Lianus ke Riau.

Di Riau, Lianus bekerja di sebuah perusahan kertas. Selama di Riau, ia sempat melihat perilaku umat Islam yang tidak konsisten menjalankan ibadahnya. Dia pun memutuskan untuk tinggal dekat masjid. Lagi-lagi melalui masjid tersebut, Lianus mendengar kisah para nabi, termasuk Nabi Isa dan kisah Maryam.

Goncanglah keimanan Lianus. “Ketika saya merenung, ketika malam puncak. Saya tidak tidur. Saya pun minum terakhir kali. Setelah itu, saya niatkan diri untuk bertobat,” kenang Lianus.

Akhirnya, Lianus memutuskan untuk masuk ke dalam masjid. Kebetulan, ada salah seorang pemuda bernama Suryadi di sana. Ia menuntun Lianus pada Alquran. Oleh Yadi, Lianus diperlihatkan surat Al-Imran untuk menjawab pertanyaan pertama dan kedua. Lalu, Yadi, memperlihatkan Alquran surat Al-Maidah untuk menjawab pertanyaan ketiga. “Makin yakinlah saya, Alhamdulillah, saya bersujud kepada Allah SWT. Saya meminta disyahadatkan,” ungkap Lianus.

Dia pun dibimbing oleh Haji Amin dari Masjid Istiqomah mengucapkan dua kalimat syahadat lalu bergantilah nama  menjadi Abdul Aziz Laiya.

Kabar Lianus masuk Islam segera terdengar oleh pamannya. Tak lama,orang tua Lianus mendengar kabar Keislaman Lianus. Keluarganya marah besar. Bahkan, sang paman tak segan memukul dan menendang dirinya. Lalu, oleh sang paman, dia dibawa kembali pada keluarganya. Oleh ayah dan ibunya, Lianus diancam tidak akan lagi diakui sebagai anak.

“Selama tiga bulan pertama memeluk Islam, saya menghadapi tendangan, pukulan, dan diceburkan ke  kolam,” kata dia. Bahkan seorang pamannya menyiramnya dengan darah babi lalu dipaksa makan babi. Menurut sang paman, tindakan itu merupakan bagian dari ritual untuk mengembalikan Lianus kepada jalan yang benar.

"Dalam menghadapi tekanan bertubi, saya hanya bisa mengucapkan laa Illahalillah dan shalat," kata dia.

Saat itulah, Lianus merasa sendirian. Tidak ada yang membantu dirinya memperjuangkan Islam. “Terguncanglah saya saat itu,” kenang dia. Selama seminggu Lianus tidak shalat, seminggu itu pula iman Lianus babak belur; dirayu untuk kembali kepada ajaran agama sebelumnya.

Seorang Ustad bernama Sahabudin kemudian mendatangi dia dan memberikan nasihat. “Alhamdulillah, kembalilah saya kepada jalan Allah SWT,” ungkap dia.

Lianus kembali mendalami Islam. Dia kembali mengikuti berbagai majelis taklim yang digelar. Dia pun menjadi ketua remaja masjid di lingkungannya. Dia juga bertugas membimbing para mualaf .  Lalu dipertemukanlah dia oleh Ustad Nababan, pengasuh pondok Pesantren Pembina Muallaf Annaba Center, Tangsel, Banten.

Lianus sempat kembali ke Nias lantaran menerima kabar bahwa ayahnya tengah sakit. Ia diminta kembali ke agama sebelumnya, agar sang ayah sembuh.

Ia menggeleng. "Dengan ilmu rukyah yang pas-pasan, hanya mengandalkan bacaan basmalah, surah al-Fatihah, al -Ikhlas, al-Alaq, dan ayat kursi. Subhanallah, ayah saya sembuh. Yang hadir menyaksikan kesembuhan ayah saya terkejut.  Padahal waktu itu saya belum bisa baca Alquran, saya baru belajar mengaji," kenangnya.

Kini, Lianus merasakan ketenangan batin luar biasa dalam memeluk Islam. Dia merasa selalu dimudahkan dalam beraktivitas. “Ketika sedih, dengan berzikir, hilanglah kesedihan.  Ketika tengah bermasalah, saya baca Alquran maka datanglah inspirasi,” kata dia.

Sumber : Republika.co.id.
Read more...

Pergolakan di Timor Leste Antarkan Orlando Pada Islam

0 komentar


Suasana Timor-Timur, kini Timor Leste, memasuki tahun 1999 begitu mencekam. Saat itu pula diputuskan bahwa Timor-Timur memisahkan diri dari bingkai negara Kesatuan Republik Indonesia.

Arnaldo Pinto, saat itu masih duduk di sekolah dasar kelas 6, tengah menikmati liburan di kota Dili.  Orlando kecil tidak tahu bahwa Timor-timur sudah menjadi negara Merdeka. Liburan belum berakhir, dia dan keluarga tak kembali ke kampungnya, tapi mengungsi ke Nusa Tenggara Timur.

Hijrah mendadak Orlando bersama orang tua angkatnya itu, merupakan awal dari perkenalan Orlando terhadap Islam. Orlando kecil tinggal bersama orang tua angkatnya di pengungsian eks Timor-timur di NTT.

Di pengungsian,  Orlando menemukan "dunia" baru; senang mendengar teman-temannya di pengungsian  mengaji dan belajar Iqro. Suatu malam, orang tua angkatnya, menyatakan ia harus mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinan yang dipeluknya. Namun, Orlando kecil menolak.

Ia malah datang ke masjid saat Jumat. Hal yang pertama dilakukan, adalah berwudlu. “Karena baru pertama masuk masjid, rasanya sangat aneh. Biasanya saat ke gereja ada nyanyian atau apa, di sini (masjid) tidak ada. Juga harus melepaskan sandal, duduk dengan rapi,” ungkapnya. Tanpa tahu bacaannya, ia mengikuti gerakan shalat. Ia sempat menjadi bahan tertawaan ketika pada rakaan pertama langsung sujud, tanpa ruku terlebih dulu.

Setelah selesai shalat jumat, Orlando mendatangi ustadz minta diislamkan. Sang ustadz sempat kaget dan menanyakan apa motivasinya. "Saya langsung menjawab, karena kesadaran sendiri.  Lalu ustad bertanya lagi, usai mengucapkan dua kalimat syahadat apakah Orlandoikhlas mengikuti ajaran Islam? Jawab saya, siap pak ustadz,” kata Orlando menuturkan kisahnya

Sang ustadz menawarkan padanya nama baru. Orlando pun mengiyakan. Nama lama, Arnaldo Pinto,  menjadi Muhammad Orlando. “Saya waktu itu mempersilahkan ustad untuk memberikan nama apapun buat saya. Cuma saya bilang waktu itu, banyak teman memanggil saya Aldo, atau sahabat saya memanggil saya Orlando. Saat itu, ustadz akhirnya memberi nama saya Muhammad Orlando,” ungkap dia. Setelah itu, Orlando diajarkan wudhu, shalat, dan doa.

Babak baru keislaman Orlando terus berlanjut, saat orang tua angkatnya mengirim dia ke sebuah pesantren di Jawa Timur. Di awal, Orlando yang sudah berusia 15 tahun dipanas-panasi agar tidak masuk pesantren."Ada seseorang yang berbisik kepada saya. Kamu nanti, kalau masuk sana bakalan tidak betah. Makan diatur, jam tidur sedikit. Kamu pasti tidak akan betah,” cerita Orlando.

Hasutan-hasutan itu rupanya tidak menggentarkan niat Orlando. "Awalnya saya takut, tapi karena jiwa saya seorang perantau. Maka saya memutuskan berangkat. Di sana aaya belajar Iqra, dan Islam setiap hari,” papar dia.

Di pesantren itu, pengetahuan Orlando meluas. Enam bulan mondok, Orlando sudah bisa membaca sejumlah surat Alquran. Tahun 2002, dia pun mahir membaca Alquran. “Di awal, saya banyak ditertawakan teman-teman. Al Fatihah bacaanya tidak jelas. Sudah begitu, Bahasa Indonesia saya juga terbata-bata, baru belajar,” kenang dia. Di pesantren itu pula, Orlando dikhitan.

Setelah mengeyam pendidikan di pesantren Al-Ikhlas, Mojokerto, Orlando segera membantu ustadz-ustadz  membimbingmualaf baru. Berkat pengalamannya menjadi mualaf, dia tahu betul cara mendidik saudara-saudaranya yang baru memeluk Islam.

Tak  lama, orang tua angkatnya meminta dia kebali ke NTT untuk mengamalkan ilmunya. Kebetulan pula saat itu, ada seorang dermawan, tengah membangun masjid megah berikut wismanya. Selama tujuh bulan Orlando mengabdi di sana. “Saya baru sadar, menghadapi masyarakat itu tidaklah mudah,” kata dia.

Dari situlah, lantaran merasa ilmunya yang kurang, Orlando memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, untuk menempuh pendidikan S1 di LPIA, Jakarta Selatan. Beruntung baginya, lantaran dia berasal dari Timor-timur maka dia dimudahkan masuk LPIA.

Dua bulan di kampus, Orlando bisa bahasa arab, pengetahuan tenang Islam bertambah, begitupula dengan Alquran dan hadis.

Ke depan, usai menyelesaikan studinya, Orlando berharap bisa kembali ke NTT untuk membantu dakwah di sana. Kebetulan orang tua angkatnya tengah membangun masjid. “ Saya juga berharap menghantar hidayah kepada keluarga,” ujarnya.

Keluarganya di Timor Leste masih memeluk agama lama. Namun, ia hubungan mereka tak terputus.  “Satu minggu yang lalu, setelah 11 tahun, saya dihubungi ibu. Walaupun saya sudah berpindah keyakinan, mereka tidak masalah. Tapi wajar bila ada yang tidak senang,” ungkap Orlando.
Sumber : Republika.co.id.
Read more...

Masjid Islamic Society of Papua New Guinea " Pendorong penyebaran Islam di Papua Nugini '

0 komentar


Papua Nugini atau yang merupakan sebuah wilayah Negara yang berbatasan dengan Provinsi Papua (Indonesia) adalah mayoritas penduduknya beragama Kristen. 
Islam di sana masih terbilang sangat kecil dan belum berkembang pesat, belum banyak penduduk yang familiar dengan Islam. Walaupun begitu, Papua Nugini sudah mempunyai sebuah masjid dan pusat masyarakat Islamnya sendiri.

Masjid pertama yang pernah ada di sana dinamakan Masjid Islamic Society of Papua New Guinea (ISPNG). Masjid yang awalnya bernama Port Moresby Central Muslim ini dibangun atas kerja keras umat muslim yang tinggal di sana.

Awal cerita pembangunan masjid ini dimulai ketika Muslim World League (Rabita Al Alam Al Islami) yang beroperasi di Arab Saudi menawarkan kerja sama dengan umat muslim Papua Nugini pada 1987. Kerja sama mereka menghasilkan sebuah masjid di atas lahan di Lot 4 Sect 63 Queensc Life, Korobosea National District dengan daya tampung maksimal 50 orang.

Seiring dengan perkembangan zaman, kuantitas muslim Papua Nugini pun bertambah. Hal ini mengakibatkan tempat beribadah kecil mereka kewalahan melayani umat muslim yang ada. Sehingga tempat salat dipindahkan ke halaman Kedutaan Besar Republik Indonesia.

Menanggapi hal tersebut, umat Islam Papua Nugini mengusulkan akan pembangunan sebuah masjid. Kali ini, respon luar biasa berdatangan dari banyak pihak. Mulai dari pemerintah Papua Nugini yang menyumbangkan 3500 meter persegi lahan di Lot 1R 2 Sektor 138, Malas Street, Hohola, National Capital District. Lalu dana sebesar $100.000 juga dilayangkan oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila kepada pengurus Port Moresby Islamic Center.

Peletakan batu pertama dan peresmian masjid ini dilakukan oleh Duta Besar RI di Port Moresby. Acara pembukaan dan peresmian masjid dihadiri oleh Duta Besar RI di Port Moresby, Wakil dari Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, wakil dari Maybank Malaysia dan Imam Mikail Abdul Azis selaku wakil Muslim World League.

Selain tempat beribadah, Masjid Islamic Society ini juga membuka pesantren, pengajian, dan pembelajaran Islam lainnya. Keberadaan masjid ini jelas mendorong penyebaran dan perkembangan Islam di Papua Nugini. Setidaknya terdapat 200 warga Papua yang masuk Islam semenjak berdirinya masjid bersejarah tersebut.
Read more...

Sejarah Masuknya Islam di Tanah Papua Pada Abad 15 M

0 komentar

 
Kedatangan pengaruh Islam ke Pulau Papua, yaitu ke daerah Fakfak Papua Barat tidak terpisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat pelayaran internasional di Malaka, Jawa dan Maluku. Sebelum membahas proses masuknya Islam di daerah ini terlebih dahulu akan dibahas proses masuknya agama Islam di Maluku, Ternate, Tidore serta pulau Banda dan Seram karena dari sini Islam memasuki kepulauan Raja Ampat di Sorong, dan Semenajung Onin di Kabupaten Fakfak (Onim, 2006:75).
Sejarah masuknya Islam di wilayah Maluku dan Papua dapat ditelusuri dari berbagai sumber baik sumber lisan dari masyarakat pribumi maupun sumber tertulis. Menurut tradisi lisan setempat, pada abad kedua Hijriah atau abad kedelapan Masehi, telah tiba di kepulauan Maluku (Utara) empat orang Syekh dari Irak. Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan politik di Irak, dimana golongan Syiah dikejar-kejar oleh penguasa, baik Bani Umayah maupun golongan Bani Abasyiah. Keempat orang asing membawa faham Syiah. Mereka adalah Syekh Mansyur, Syekh Yakub, Syekh Amin dan Syekh Umar. Syekh Umar menyiarkan agama Islam di Ternate dan Halmahera muka. Syekh Yakub menyiarkan agama Islam di Tidore dan Makian. Ia meninggal dan dikuburkan di puncak Kie Besi, Makian. Kedua Syekh yang lain, Syekh Amin dan Umar, menyiarkan agama Islam di Halmahera belakang, Maba, Patani dan sekitarnya. Keduanya dikabarkan kembali ke Irak.
Sedangkan menurut sumber lain Islam masuk ke Ternate di sekitar tahun jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit 1478, jadi sekitar akhir abad ke-15. Sumber lain berdasarkan catatan Antonio Galvao dan Tome Pires bahwa Islam masuk ke Ternate pada tahun 1460-1465. Dari beberapa sumber tadi dengan demikian dapat diperkirakan bahwa Islam masuk ke Maluku pada abad ke-15 selanjutnya masuk ke Papua pada abad ke-16, sebagain ahli memprediksikan bahwa telah masuk sejak abad ke-15 Sebagaimana disebutkan situs Wikipedia.
Secara geografis tanah Papua memiliki kedekatan relasi etnik dan kebudayaan dengan Maluku. Dalam hal ini Fakfak memiliki kedekatan dengan Maluku Tengah, Tenggara dan Selatan, sedangkan dengan Raja Ampat memiliki kedekatan dengan Maluku Utara. Oleh karena itu, dalam membahas sejarah masuknya Islam ke Fakfak kedua alur komunikasi dan relasi ini perlu ditelusuri mengingat warga masyarakat baik di Semenanjung Onim Fakfak maupun Raja Ampat di Sorong, keduanya telah lama menjadi wilayah ajang perebutan pengaruh kekuasaan antara dua buah kesultanan atau kerajaan besar di Maluku Utara (Kesultanan Ternate dan Tidore). Nampaknya historiografi Papua memperlihatkan bahwa yang terakhir inilah (Kesultanan Tidore) yang lebih besar dominasinya di pesisir pantai kepulauan Raja Ampat dan Semenajung Onim Fakfak. Walaupun demikian tidak berarti bahwa Ternate tidak ada pengaruhnya, justru yang kedua ini dalam banyak hal sangat berpengaruh. DDengan adanya pengaruh kedua kesultanan Islam ini di Raja Ampat, Sorong dan Fakfak, maka telah dapat diduga (dipastikan) bahwa Islam masuk ke Raja Ampat dan Semenanjung Onim Fakfak serta sebagian besar wilayah pantai selatan daerah Kepala Burung pada umumnya termasuk kaimana di dalamnya adalah wilayah lingkup pengaruh kedua kesultanan itu (Onim 2006; 83) Kajian masuknya Islam di Tanah Papua juga pernah dilakukan oleh Thomas W Arnold seorang orientalis Inggris didasarkan atas sumber-sumber primer antara lain dari Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris. Dalam bukunya yang berjudul The preaching of Islam yang dikutip oleh Bagyo Prasetyo disebutkan bahwa pada awal abad ke-16, suku-suku di Papua serta pulau-pulau di sebelah barat lautnya, seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati telah tunduk kepada Sultan Bacan salah seorang raja di Maluku kemudian Sultan Bacan meluaskan kekuasaannya sampai Semenanjung Onim (Fakfak), di barat laut Irian pada tahun 1606, melalui pengaruhnya dan pedagang muslim maka para pemuka masyarakat pulau-pulau tadi memeluk agama Islam meskipun masyarakat pedalaman masih menganut animisme, tetapi rakyat pesisir adalah Islam.
Karena letak Papua yang strategis menjadikan wilayah ini pada masa lampau menjadi perhatian dunia Barat, maupun para pedagang lokal Indonesia sendiri. Daerah ini kaya akan barang galian atau tambang yang tak ternilai harganya dan kekayaan rempah-rempah sehingga daerah ini menjadi incaran para pedagang. Karena kandungan mineral dan kekayaan rempah-rempah maka terjadi hubungan politik dan perdagangan antara kepulauan Raja Ampat dan Fakfak dengan pusat kerajaan Ternate dan Tidore, sehingga banyak pedagang datang untuk memburu dagangan di daerah tersebut. Ambary hasan, dalam tulisannya yang dikutif oleh Halwany Michrob mengatakan bahwa sejarah masuknya Islam di Sorong dan Fakfak terjadi melalui dua jalur.
Perkembangan Islam di Papua
  • Di daerah Sorong, perkembangannya di mulai sejak abad ke-15 ketika Raja-raja Ternate dan Tidore mengadakan pelayaran ke timur untuk mencari burung kuning yang berlokasi di Salawati;
  • Perkembangan agama Islam di daerah Fakfak dikembangkan oleh pedagang-pedagang suku Bugis melalui Banda yang diteruskan ke Fakfak melalui Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama Haweten Attamimi yang telah lama menetap di Ambon;
 Proses Islamisasi di wilayah Fakfak dilakukan melalui jalur
  1. Perdagangan, Jalur perdagangan dilakukan ketika para pedagang datang kemudian mereka menetap di pemukiman masyarakat di sekitar daerah pesisir pantai, selain berdagang mereka juga memperkenalkan agama Islam dengan mengajarkan penduduk untuk melakukan shalat.
  2. Perkawinan para pedagang umumnya menempuh cara perkawinan agar lebih gampang atau mudah memperoleh kemungkinan dan jalan masuk untuk mendapatkan hasil pala dari masyarakat Fakfak. Para pedagang datang ke wilayah ini kemudian mereka kawin dengan kaum wanita di tempat tersebut dengan demikian ia dijadikan pemimpin dalam agama Islam.
  3. Pendidikan non formal dilakukan melalui pusat-pusat pengajian yang berlokasi di mesjid-mesjid maupun di rumah- rumah para mubaliqh
  4. Politik yang dimaksud dengan penyebaran dakwah melalui saluran politik ialah bahwa atas jasa dan upaya para raja dan pertuanan dan keluarga-keluarganya maka agama Islam turut disebarkan (Onim, 2006;102-105).
Pengaruh masuknya Islam di kabupaten Fakfak dapat diketahui dengan adanya ditemukan mesjid-mesjid kuno peninggalan kerajaan Islam yang pernah berkuasa di wilayah tersebut diantaranya gong, bedug mesjid, rebana yang digunakan pada saat upacara maulid, songkok raja, tongkat cis, tanda raja dan adanya silsilah kerajaan dari kerajaan Ati-ati. Mesjid-mesjid kuno yang ditemukan tersebut tersebar di beberapa tempat diantaranya mesjid Patimburak, mesjid Werpigan dan mesjid Merapi.
Di Kabupaten Fakfak pada masa awal masuknya agama Islam ada empat raja yang berkuasa diantaranya Raja Ati-ati, Ugar, Kapiar dan Namatota (sekarang masuk dalam wilayah kabupaten Kaimana). Masing-masing raja tersebut mendirikan mesjid dan mesjid tersebut yang digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam. Akan tetapi mesjid yang didirikan oleh raja Ati-ati pada saat itu pada umumnya terbuat dari kayu sehingga tidak bisa lagi ditemukan wujud maupun sisa-sisanya. Satu-satunya mesjid yang ditunjukkan oleh keturunan Raja Ati-ati adalah mesjid Werpigan yang dibangun pada tahun 1931 oleh Raja ke-9. Mesjid tersebut telah mengalami renovasi, sehingga konstruksi aslinya telah hilang yang nampak adalah mesjid yang baru ( Tim peneliti, 1999).
Selanjutnya adalah mesjid yang didirikan oleh Raja Fatagar yaitu mesjid Merapi terletak di kampung Merapi, dalam mesjid terdapat bedug yang terbuat dari batang kayu kelapa. Di dekat mesjid terdapat makam Raja Fatagar I dan II, makam terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok yang berada di dalam pagar dan kelompok yang berada di luar pagar. Selain itu bukti pengaruh masuknya Islam yaitu ditemukan rebana yang digunakan pada saat upacara maulid, gong, tanda raja, tongkat cis, songkok raja dan adanya silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di wilayah tersebut. Diantara mesjid tua yang masih bertahan hingga saat ini adalah mesjid Patimburak yang ada di distrik Kokas, menurut informasi mesjid tersebut didirikan pada tahun 1870.
Dari beberapa sumber disimpulkan bahwa Islam masuk ke kabupaten Fakfak menurut beberapa sumber sekitar pertengahan abad ke-15. Proses masuknya yaitu melalui jalur perdagangan, perkawinan, pendidikan non formal dan politik. Islam masuk ke wilayah ini tidak terlepas dari pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore sebagai basis Islamisasi di Indonesia bagian timur.

Pengaruh masuknya Islam di kabupaten Fakfak dapat dilihat dengan adanya temuan mesjid kuno dibeberapa tempat yaitu mesjid Merapi, Werpigan, Patimburak, gong, rebana, tongkat cis, songkok raja. Islam juga menancapkan pengaruhnya didaerah Kokas, Fakfak salah satu buktinya adalah keberadaan sebuah Masjid Tua yaitu Masjid Patimburak.
Read more...

Masjid Patimburak, Saksi Bisu Sejarah Islam di Papua Abad 19

0 komentar


Islam diyakini telah ada di Papua jauh sebelum misionaris Nasrani masuk pulau paling timur Indonesia itu. Saksi bisu sejarah itu adalah Masjid Patimburak di Distrik Kokas, Fakfak. Masjid ini dibangun oleh Raja Wertuer I bernama kecil Semempe.

Saat itu, tahun 1870, Islam dan Kristen sudah menjadi dua agama yang hidup berdampingan di Papua. Ketika dua agama ini akhirnya masuk ke wilayahnya, Wertuer sang raja tak ingin rakyatnya terbelah kepercayaannya.

Maka ia membuat sayembara: misionaris Kristen dan imam Muslim ditantang untuk membuat masjid dan gereja. Masjid didirikan di Patumburak, gereja didirikan di Bahirkendik. Bila salah satu di antara keduanya bisa menyelesaikan bangunannya dalam waktu yang ditentukan, maka seluruh rakyat Wertuer akan memeluk agama itu.

“Masjid lah yang berdiri pertama kali,” ujar juru kunci masjid itu, Ahmad Kuda. Maka raja dan seluruh rakyatnya pun memeluk Islam. Bahkan sang raja kemudian menjadi imam juga, dengan pakaian kebesarannya berupa jubah, sorban, dan tanda pangkat di bahunya.

Arsitektur Masjid Patimburak sendiri tergolong unik. Dari kejauhan, masjid ini terlihat seperti gereja. Kubahnya mirip gereja-gereja di Eropa masa lampau. Namun ada empat tiang penyangganya di tengah masjid, menyerupai struktur bangunan Jawa. Interior dalamnya pun hampir sama dengan masjid-masjid di Pulau Jawa yang didirikan oleh para wali.

Masjid itu kini masih berdiri megah di pinggir teluk Kokas, setengah jam perjalanan dengan perahu bermotor dari dermaga Kokas. Lubang bekas peluru sisa-sisa serbuan pasukan Belanda dibiarkan utuh.

Kapan persisnya Islam masuk ke Papua memang tak pernah terekam dengan jelas. Pemerintah Kabupaten Fakfak pernah mengadakan beberapa kali seminar membahas tentang hal ini. Petunjuk hanya mengarah pada bahwa pada abad XV Islam sudah ada di Fakfak, namun kapan tepatnya dienullah itu menerangi warga Papua, tak ada catatan pasti.

Fakta lain disodorkan Raja Teluk Patipi XVI yang bernama kecil H Ahmad Iba. Dari ruang pribadinya – rumahnya berdinding papan di sudut kota Fakfak, Papua Barat – dia mengeluarkan sebuah buntalan putih besar. Isinya: delapan manuskrip kuno berhuruf Arab.

Lima manuskrip berbentuk kitab dengan berbagai ukuran. Yang terbesar berukuran sekitar 50 X 40 cm, berupa mushaf Alquran tulisan tangan di atas kulit kayu yang dirangkai. Empat lainnya, salah satunya bersampul kulit rusa, merupakan kitab hadis, ilmu tauhid, dan kumpulan doa. Ada “tanda tangan” dalam kitab itu, berupa gambar tapak tangan dengan jari terbuka.

Sedang tiga kitab berikutnya, ini dia: dimasukkan ke dalam buluh bambu dan ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang kini mulai punah. Sekilas, mirip manuskrip daun lontar yang banyak dijumpai di berbagai wilayah Indonesia Timur.

Lima manuskrip pertama diyakini masuk ke Papua tahun 1214-an, berdasar cerita turun-temurun. Kitab-kitab itu dibawa oleh Syekh Iskandarsyah dari Kerajaan Samudera Pasai di Aceh yang datang menyertai rombongan ekspedisi kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk lewat Mes, ibukota Kerajaan Teluk Patipi saat itu.

Kenapa yakin dengan tahun itu? “Di Mes di masa lalu pernah ditemukan gambar tapak tangan yang detilnya mirip dengan gambar yang sama di manuskrip Alquran kuno berangka tahun sama,” ujar Raja Teluk Patipi XVI. Tapak tangan yang sama juga dijumpai di Teluk Etna (Kaimana) dan Merauke.

Ia mendapat cerita dari kakek buyutnya, lagi-lagi cerita turun-temurun, yang menyebut sebuah tsunami besar pernah menyapu bersih Mes – itu pula yang membuat ibu kota kerajaan itu dipindahkan ke Teluk Patipi. Dalam musibah itu, seluruh harta benda habis, “Termasuk kitab-kitab ajaran alif lam lam ha (maksudnya ejaan Allah, ajaran Islam adalah memerintahkan manusia menyembah Allah, red),” ujarnya.

Namun yang pasti Islam memang masuk pertama kali di bagian barat Papua. Di Fak Fak, jumlah Muslim hampir separuh populasi. Muslim-Kristen selama berabad-abad hidup berdampingan secara damai. "Semua agama mengajarkan kasih sayang dan perdamaian, sama dengan ajaran nenek moyang kami," ujar Iba.

Saksi bisu sejarah Islam, Masjid Patimburak, hingga kini masih difungsikan sebagai tempat ibadah umat Muslim di Fak-Fak.

Sumber. Rpublika
Read more...

Jumat, 26 Juli 2013

Sejarah Sembilan Wali (Walisongo)

0 komentar
Walisongo berarti Sembilan orang Wali 
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. 
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal. 
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan. 
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata. 
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.


Maulana Malik Ibrahim (1)
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.


Sunan Ampel (2)
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang) Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M. Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.” Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.


Sunan Giri (3)
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma). Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai. Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata. Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa. Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18. Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau. Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.


Sunan Bonang (4)
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.


Sunan Kalijaga (5)
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.


Sunan Gunung Jati (6)
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat. 


Sunan Drajat (7)
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’. Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin. 


Sunan Kudus (8)
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang. 


Sunan Muria (9)
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Read more...

Novel Itu Mengantarkannya Menjadi Seorang Mualaf

0 komentar


Molly Carlson tak menduga sebuah buku fiksi yang dibacanya di masa kecil akan membuatnya mengenal Islam. Selanjutnya perkenalan itu secara tidak sadar membekas di hatinya.

Membuatnya diam-diam meyakini Islam sebagai agama yang paling benar. Bahwa semua doa, pelayanan, dan salib yang disilangkannya dengan jari di dadanya, hanyalah sebuah kegiatan yang selama ini tak menyentuh hatinya.

“Saya tidak ingat berapa umur saya ketika membaca buku itu, tapi saya ingat betul satu adegan di buku itu yang membuat saya mengenal Islam dan mempertanyakan identitas saya sebagai Katolik,” ujarnya. Itu adalah buku King of the Wind karangan Marguerite Henry. Buku itu menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang berasal dari Maroko dan kudanya.

Sementara adegan yang dikenang Molly adalah ketika anak tersebut dikisahkan berpuasa saat Ramadhan. “Entah mengapa setelah membaca kisah tersebut, hati saya tiba-tiba tergerak,” katanya. Sejak itu, dia mulai tertarik terhadap Islam. Rasa penasaran menuntunnya untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang Islam dan agamanya saat itu.

Lalu beberapa mimpi menuntunnya untuk mengenal Islam lebih dalam. “Pada umur 12 tahun saya mendapatkan mimpi misterius yang tidak benar-benar saya mengerti. Tidak menakutkan, namun mimpi itu seperti merefleksi hati saya ketika itu,” ujarnya. Di mimpi itu, Molly berdiri di sebuah ruangan kotak yang dindingnya terbuat dari kayu dan memiliki karpet berpola di lantainya. Ruangan tersebut diterangi oleh lentera.

Molly berdiri di tengah ruangan tersebut. Di sebelah kirinya terdapat sebuah pintu kayu berukir untuk masuk ke ruangan lainnya. Meskipun terpisah pintu, namun dalam mimpi tersebut Molly melihat banyak perempuan di dalam ruangan tersebut. Mereka semua menggunakan hijab. Sementara ruangan tempat dia berdiri saat itu adalah ruangan yang dipenuhi laki-laki.

Di dalam mimpi itu, Molly sadar bahwa apa yang dilakukannya salah. Bahwa seharusnya dia tidak berada di ruangan tersebut. Bahwa seharusnya dia bergabung dengan para perempuan di ruangan sebalahnya. Dalam mimpi itu pula dia menyadari keberadaan sebuah kekuatan besar yang dipahaminya sebagai sosok Tuhan. Namun Dia merasa kecewa kepada Molly karena berada di ruangan tersebut. Entah mengapa, mengetahui hal tersebut, Molly merasa sangat sedih. Mimpi tersebut membuat Molly kecil semakin bertanya-tanya.


                                                                           ***

Di lain waktu, mimpi lain menyerbunya. Saat itu, Molly telah cukup dewasa untuk membuat keputusan atas dirinya. Dalam mimpi tersebut, Molly melihat seorang perempuan berdiri di sebelahnya. Perempuan itu menggunakan hijab hitam yang menutup tubuhnya dari kepala hingga ujung kaki, seperti seorang ninja. Molly hanya bisa melihat mata perempuan itu.

Dia merasa takut melihat sosok tersebut, namun lalu memberanikan diri untuk mendekat kepada perempuan tersebut. Dia melihat mata perempuan tersebut lebih seksama. Dia terkejut mengetahuo bahwa perempuan yang berada di depannya itu adalah dirinya sendiri. “Saya bisa tahu dari mata itu. Itu mata saya. Kami seperti cermin. Sejenak saya berpikir bahwa mimpi tersebut adalah masa depan saya kelak,” ujarnya.

Kejadian demi kejadian tak lantas membuatnya sebagai muslim. Eksplorasinya tentang Islam yang lebih mendalam  baru dilakukan setelah peristiwa 9/11. “Saat itu saya sedang menempuh semester pertama saya di kuliah. Saya berusia 18 tahun,” katanya. Ketika peristiwa itu terjadi, Molly memiliki sejumlah teman dekat yang beragama Islam. Namun selama ini, pertemanan mereka tidak banyak menyinggung soal agama. “Kami tidak membahas tentang agama setiap kali bertemu. Mereka tidak pernah mempertanyakan keyakinan saya dan tidak pernah memaksakan keyakinan mereka kepada saya,” katanya.

Sayangnya peristiwa tersebut telah menyebarkan kebencian terhadap muslim. Namun tidak demikian dengan Molly. Penilaiannya tentang teman-temannya itu tidak berubah. Mereka tetap menjadi sahabat baik bagi Molly. Tak ada kebencian yang ada adalah simpati. Bukan pada korban yang meninggal karena peristiwa tersebut, namun pada teman-temannya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kejadian itu tetap dihakimi hanya karena mereka muslim.

“Saya tidak tega melihat teman saya diperlakukan tidak baik pasca kejadian tersebut. Saya sudah mengenal mereka sejak lama. Mereka orang yang sangat baik. Bukan teroris ataupun ekstremis,” ujarnya.
Suatu kali, Molly pernah meminjam hijab, abaya, dan niqab milik seorang temannya dan datang ke kampusnya dengan penampilan tersebut. Hal tersebut dilakukannya hanya untuk mencari tahu bagaimana rasanya menjadi mereka. “Kenyataannya saya benar-benar diperlakukan secara berbeda. Perlakukan yang keras bahkan membuat saya menangis,” ujarnya.

Perlakukan tersebut tak menyurutkan keputusannya untuk memeluk Islam di kemudian hati. Pada 2005, ketika usinya 22 tahun, di ruang tamu sebuah keluarga Muslim kenalannya, Molly membaca syahadat.

“Saya masih ingat betul perasaan saya saat itu. Saya merasakan tangan Tuhan merangkul saya dan mencabut dosa saya serta membuat saya menjadi orang yang baru,” katanya. Sejak saat itu, Molly tidak pernah melihat ke belakang. “Saya tidak pernah menyesali keputusan saya. Saya menemukan lebih banyak arti dan kesenangan dalam hidup saya setelah menjadi muslim,” ujarnya.


Reporter : Fitria Andayani
Redaktur : Heri Ruslan
Read more...

Alexander Hussein, bangga menjadi Muslim (Muaalaf Australia)

0 komentar

Australia bukanlah negara Islam. Kebudayaan Barat yang dianut Australia pun kerap bertolak belakang dengan ajaran agama Islam. 
Tetapi bagi Alexander Husseini, atau Alex, hal ini tidak membuatnya membatasi pergaulan.
"Islam mengajarkan pemeluknya untuk memiliki karakter yang kuat. Sebagai Muslim, kita harus tunjukkan kalau bertingkah laku yang beradab," ujarnya.

Usianya masih terbilang sangat muda, 21 tahun. Tetapi justru ia tidak ingin masa mudanya hilang begitu saja. Ia ingin terus teguh memegang keimanannya, sambil berharap bisa membantu orang lain.
Menurut Alex, jika kita mampu berperilaku seperti apa yang sudah diajarkan Islam, maka orang lain akan semakin menghormati kita. Tak jarang, bahkan menjadi panutan bagi yang lain.

Alex sehari-harinya bekerja membantu bisnis keluarganya, yakni sebuah toko keju yang selalu ramai dikunjungi di pasar terkemuka, Queen Victoria Market di Melbourne.
Ia bukanlah termasuk orang yang malu untuk mengakui dirinya adalah seorang Muslim, ditengah pemberitaan soal Islam yang kerap kali terdengar miring. "Saya jelaskan kepada teman yang lain, jika shalat itu adalah untuk membuat rileks setelah berbagai kesibukan. Juga tempat dimana kita berharap dan berdoa pada Sang Pencipta," kata Alex.

"Mungkin sama saja bagi sebagian yang melakukan yoga, ya itulah shalat bagi saya."
"Sementara, puasa adalah untuk ikut merasakan apa yang dialami oleh mereka yang tidak mampu."
"Bulan Ramadan juga adalah saat yang tepat untuk berbagi. Bayangkan jika kita semua memberikan sumbangan kepada mereka yang membutuhkan, mungkin masalah kemiskinan bisa diatasi," tambahnya.
Di tengah kesibukannya, ia kerap bermain sepak bola, salah satu kegemarannya.
Tak jarang, beberapa diantara temannya kadang merayakan kemenangan dengan berpesta atau minum alkohol, hal yang dilarang dalam ajaran Islam. "Yang terpenting adalah selalu berperilaku terbaik untuk menjaga moral," tanggapnya soal bagaimana menolak ajakan dan godaan dari sekitar.
Alex pun merasa beruntung karena ia tidak pernah mengalami diskriminasi atau kekerasan yang berbau suku dan agama.

Menurutnya, warga Australia tidak akan langsung begitu saja dalam menghakimi atau menilai seseorang. "Di sini orang akan menilai kita secara bertahap, karenanya jika kita terus menunjukkan yang akhlak yang terbaik, maka orang pun akan sungkan menuduh kita macam-macam."
Alex memiliki harapan dan mimpi besar bagi Australia. "Kita antar umat beragama sebenarnya bisa mudah bersatu karena ada kesamaan."

"Kesamaan ajarannya adalah selalu ingin membantu orang yang kesusahan, membantu yang sakit, misalnya," tambahnya. "Jika ini yang dipersatukan, maka akan sangat bermanfaat dan berguna untuk orang lain"

Sumber : radioaustralia
Read more...

Masjid Ini tetap kokoh Meski Diserang Bom dan Gempa Bumi !

0 komentar

Bangunan dengan struktur bangunan sekuat apapun itu pasti hancur ketika diserang oleh rentetan bom dan juga gempa bumi. Tapi hal ini tidak berlaku untuk Kobe Mosque yang terletak di Jepang.

Masjid yang dikenal dengan nama Masjid Muslim Kobe ini merupakan masjid pertama di Jepang yang dibangun pada tahun 1928 di Nakayamate Dori, Chuo-Ku. Proses pembangunan masjid ini berjalan selama tujuh tahun dan dibuka pertama kali pada Oktober 1935.

Pada tahun 1945 saat terjadi Perang Dunia II, setelah Jepang menyerang Pearl Harbour di Amerika, pihak Amerika menjatuhkan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima. Saat itu, Kobe juga menerima serangan bom lewat udara. Meski bom yang dijatuhkan di Kobe tidak sejenis bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, namun Kobe juga rata dengan tanah.

Ketika hampir semua bangunan rata dengan tanah, Masjid Muslim Kobe ini tetap berdiri tegak. Semua kaca jendela masjid ini pecah, selain itu dinding luarnya mengalami keretakan. Bagian luar masjid juga menjadi agak hitam karena asap serangan bom.

Para tentara Jepang yang berlindung di basement masjid selamat dari serangan ini, begitu pula dengan senjata-senjata yang disembunyikan. Masjid ini juga kemudian menjadi tempat pengungsian korban perang.
Pasca Perang Dunia II, masjid ini direnovasi dengan bantuan dana dari pemerintah Arab Saudi dan Kuwait. Mereka mengganti kaca-kaca jendela yang pecah dengan kaca jendela baru yang didatangkan langsung dari Jerman. Sistem pengatur suhu pun dipasang di masjid ini.

Kekokohan Masjid Muslim Kobe kembali diuji ketika terjadi gempa bumi yang cukup dahsyat pada 17 Januari 1995. Gempa ini merupakan gempa bumi terburuk yang dialami Jepang sejak gempa bumi besar di Kanto pada tahun 1923. Tapi Masjid Muslim Kobe tetap berdiri kokoh hingga saat ini.

Sumber : DREAMERSRADIO.COM
Read more...

Senin, 22 Juli 2013

Rindu Suasana Ramadhan di Kampung Halaman ( Di Tanah Mandar)

0 komentar



Jalan-jalan di Tanah Mandar, jangan lupa sempatkan singgah di daerah Wonomulyo dimana penduduk setempat disini biasa menyebutnya sebagai (Kappung Jawa) atau kalau di bahasa Indonesiakan adalah sebagai Kampung Jawa.
Apa yang menjadi kalimat tersebut diatas adalah benar adanya dimana di daerah kec. Wonomulyo ini yang berada di daerah Polewali Mandar – Sulawesi  Barat, adalah merupakan suatu daerah dimana yang bila kita perhatikan dengan seksama hampir sebagian kehidupan masyarakat disini,serasa kita berada seperti  di Pulau Jawa.
Jadi bila anda berkeinginan jalan-jalan hanya untuk melihat daerah tanah Jawa, sebaiknya cobalah main-main ke daerah tanah Mandar ini yaitu tepatnya di daerah Kec. Wonomulyo .
Diperkirakan hampir 90% masyarakat penduduk disini beragama Muslim, di Wonomulyo ini terdapat sebuah masjid terbesar yang terletak di Kelurahan Sidodadi berdekatan dengan lapangan Gaswon (Gabungan Sepakbola Wonomulyo). Tempat Ibadah Umat Islam ini dinamakan Masid Merdeka Wonomulyo, ini termasuk ramai dipadati penduduk setempat baik Orang Jawa, Suku Makassar,Suku Bugis,Suku Mandar ataupun para Musafir yang kebetulan lewat dan singgah sebentar melakukan Sholat di Masjid ini, biasanya para pengunjung yang ingin singgah Sholat tersebut adalah datang dari daerah Makassar ataupun yang datang dari arah yang berlawanan seperti dari Daerah Mamuju dan Majene yang kebetulan lewat melintas di daerah Kec. Wonomulyo tersebut apalagi di bulan Ramadhan banyak pengunjung yang menyempatkan istirahat sejenak dengan melakukan Sholat di Masjid ini.
Kecamatan Wonomulyo termasuk yang paling padat penduduknya dibandingkan Kecamatan lain yang ada  di Kab. Polman, bahkan yang menjadi ciri khas daerah ini adalah hampir semua desa ataupun kelurahan memakai nama dengan bernuansa bahasa seperti di pulau Jawa yaitu seperti salah satunya adalah antara lain Keluarahan Sododadi, Bumiayu, Magelang, Kediri, Sumberjo, Jogya lama, Jogja Baru, Kuningan, Kebun Sari, Sidorejo, Sugih Waras dan masih banyak lagi dan yang cukup membanggakan di daerah ini hampr di tiap sudut di Kec. Wonomulyo ini terdapat Masjid/Surau tempat umat muslim melakukan Sholat dan aktivitas kegiatan Agama lainnya.
Bila suatu kelak teman-teman berada di Kec. Wonomulyo ini, jangan lupa main-main ke kampung Nenek dan orang tua saya yaitu di daerah Wonomulyo khususnya dibagian pinggiran masuk perkampungan menuju desa Sidodadi, Bumiayu Pucceda, Sejauh mata memandang, teman-teman akan bisa menyaksikan keindahan panorama alam indah Bumi Wonomulyo ini, terdapat hamparan sawah yang Hijau, serta aktivitas petani yang memikul cangkulnya untuk bekerja di kebun, dan juga sebagian ternak Kerbau sibuk dengan para tuannya masing ada yang sementara membajak sawah dengan secara tradiosional dan ada juga yang sudah memakai alat mesin (Dompeng) secara Modern, dan bila tiba saatnya Padi mulai menguning di sawah, para sahabat akan disuguhkan pemandangan para Pasangking (atau orang-orang yang berkumpul) sedang melakukan Panen Padi, sementara Ternak Kuda-kuda sibuk dengan mengangkut gabah di punggungnya, juga saat ini masyarakat setempat sebagian sudah menggunakan kendaraan roda dua dan empat mengangkut Gabah ke tempat Pabrik Penggilingan Gabah untuk menghasilkan beras yang kita sering makan sehari-hari.


Belum sampai disitu selain Sawah yang luas dalam perjalanan kalian nantinya akan melihat tambak empang yang luas dimana para penduduk pribumi memelihara Ikan dan Udang untuk dijual ini kami dapat lihat di daerah Pucceda, antara penduduk asli Suku Mandar/Bugis dan Suku Jawa disini terlihat sangat menjunjung tinggi rasa kekeluargaan.
Sedikit bercerita, buat teman-teman yang ingin berkunjung ke kampung saya nih…bila perlu ajak ajak saya juga yah.. siapa tau saya bisa antar makan buah rambutan dan langsat di kebun nenek saya, atau makan kelapa muda di kebun sepupu saya….he..he

Tidak sampai disitu bila kepingin asyik coba bila ada waktu kalian bisa berjalan-jalan di pematang Sawah..yang ada diwonomulyo, bila kamu melihat seorang ibu/atau siapa saja yang tanganya sedang menyisir merabah tanah dengan dengan berjalan diatas airnya yang dalamnya sebatas mata kaki, serta disekelilingnya kalian  melihat itik/atau bebek yang sedang berenang bermain air, percaya deh Ibu itu pasti sedang mencari telur itik, karena itulah yang saya lihat pada waktu itu..he..he, perlu sahabatku ketahui bahwa di kampung saya ini selain bertani juga kebanyakan penduduknya  bekerja sambilan dengan memelihara itik, ayam, dan juga ada yang  berternak Kambing dan Sapi.
Selain berternak sebagian penduduk di Kampung Jawa ini ada yang membuat usaha pembuatan Batu Batako, sungguh asik melihat mereka bermain dengan tanah liat dan membentuknya menjadi bahan Batu batako, dari batu inilah hampir semua penduduk di wilayah Kec. Wonomulyo ini menggunakannya sebagai bahan dasar membuat bangunan rumah dan Ruko ataupun bangunan-bangunan lainnya.

Selain Aktivitas bertani dan berdagang tersebut, rupanya masyarakat di Kec. Wonomulyo gemar dengan berdagang, ini bisa dilihat di Pasar Wonomulyo yang hampir tidak pernah sepih dengan aktivitas perdagangan mereka, dari penjual makanan, sayur-sayuran sampai dengan bahan keperluan rumah tanggah serta bahan-bahan bangunan, Pasar disini disebut oleh warga Bugis/Mandar sebagai Pasar Kampo atau Kappung’ Jawa (Pasar Kampung Jawa), ada Pasar Subuh yang memang dikuhususkan para pedagangya menjual dagangannya mulai dari jam 04 subuh sampai dengan pukul 07 Pagi,  selain itu ada juga yang disebut sebagai Pasar Rabu dan Minggu, dimana hari ini disebut Pasar Ramai dikarenakan hari tersebut merupakan Pasar Besar yang hampir semua aktivitas perdagangan baik jajanan kecil, Pakaian serta keperluan rumah Tangga semua ada disini, bisa dipastikan hampir semua Toko dan Ruko-ruko semua buka untuk melakukan transaksi jual beli seperti di perkotaan besar pada umumnya, ini dikarenakan hampir semua pedagang yang dari luar Kec. Wonomulyo tersebut datang ke pasar ini, sebut saja seperti pedagang dari Kec. Campalagian, Mapilli dll, datang ke Pasar ini untuk melakukan transaksi jual beli, dan bila memasuki waktu Ashar dengan sendirinya pemandangan di pasar ini kembali seperti biasa tidak terlalu ramai dikarenakan mereka telah kembali kerumah masing-masing, hanya sebagian Toko dan Ruko saja yang masih buka ini dikarenakan kebetulan pemilik Toko/Ruko tersebut telah menetap dipasar tersebut dan tinggal di sekitar Pasar Wonomulyo tersebut.

Dan bertepatan dengan bulan Ramadhan ini, ada yang bembuat saya rindu dengan kampung saya tersebut, Mappabuka ( Buka Bersama)  ini  sudah menjadi tradisi masyarakat disini, siapapun tetangga atau keluarga yang memanggil untuk datang kerumahnya mappabuka ( Buka bersama) ini sebagai penghormatan kita harus datang sebagai bentuk penghoratan bagi mereka keluarga yang mengundang.
Ada cerita lucu mengenai Mappabuka ini, sepupu saya pernah iseng menanyakan kepada saya tentang Mappabuka, kira-kira kalau kamu ikut Mappabuka apanya yang kamu perhatikan….dengan sedikit bingung saya tidak bisa menjawab pertanyaannya…
Memang apanya yang harus diperhatikan, lagian kalo berbuka Puasa bersama kan..intinya itu kita bersyukur aja telah diberikan makanan yang enak dan bisa berbagi bersama dengan tetangga yang lain…

Dengan sedikit bercanda sepupu saya mencoba menggurui saya,…ia tau..tapi kalo kami anak muda disini sih bukan makanannya yang dilihat…dengan detail sepupu saya menjelaskan bahwa disini tuh kalo berbuka…kami hanya perhatikan rokok apa yang disediakan di piring….kalo rokoknya yang murah…ya berarti kurang afdol dianggap biasa saja, tapi kalo rokoknya yang mahal seperti Surya, Filter, Dji Sam Soe..nah…itu baru Hebat…..ha..ha ..ada-ada saja nih..tp ya tidak bisa dipungkiri, pemuda di desaku ini boleh dibilang hampir semua perokok berat, jadi matanya semua tertuju kepada rokok yang ditawarkan..he..he Tapi jangan dianggan serius nih cerita diatas ini hanya iseng belaka…buat yang mau Mappabuka jangan terpengaruh ya…he..he

Namun demikian dari semua cerita tersebut diatas pada dasarnya saudara-saudara kami di kampung ini, cukup hidup rukun dan tingkat rasa kekeluargaan mereka sangat di junjung tinggi.
Saya bersyukur bisa menjadi bagian dari Anak Mandar yaitu kampung Orang tua saya dilahirkan, walau saya lahir di Papua bekerja dan berkeluarga disini hingga memiliku dua orang anak putra-putri kami disini, saya terus bermimpi suatu ketika saya akan kembali kekampung orang tua saya (MANDAR) dan bisa mengabdi disana setidaknya bisa berguna bagi  Keluarga, Bangsa dan Agama kelak..Insya Allah…

Jadi teman-teman yang berdomisili di daerah Sulawesi ataupun di Indonesia bagian Tengah dan timur tidak perlu lagi repot-repot ke Pulau Jawa bila ingin merasakan nuansa seperti di perkampungan Pulau Jawa.
Cukup di Kecamatan Wonomulyo ini anda bisa menikmati semuanya, anda bisa menikmati Becak, Delman (Bendi Bahasa daerah setempat) Sepeda Onthel jalan-jalan menelusuri daerah Wonomulyo ini, dijamin serasa seperti di Pulau Jawa deh…he..he  
Sebenarnya masih banyak yang ingin kami angkat mengenai kehidupan di daaerah Kampung Jawa  (Kec. Wonomulyo) ini namun dengan keterbatasan yang kami miliki kami berharap semoga dilain waktu teman-teman bisa berkunjung di daerah kami dan merasakan keasrian serta aktivitas dan  keramahtamahan masyarakat di Kampung Jawa Kec. Wonomulyo ini.. Wassalam.
Read more...
 
. © 2012 Berbagi Syiar Islam. Supported by Ilman-Islam and Graficom