Subhanallah,
hidayah memang datang tak mengenal umur. Itulah yang saya alami. Saat
usia menginjak angka 68 tahun, Allah membuka pintu hati saya untuk masuk
Islam. Padahal bertahun-tahun, saya adalah seorang pendeta, malah saya
adalah ketua pendeta di Manokwari. Saya sekaligus adalah Kepala Suku
Besar Serui.
Saya terlahir dengan nama Saul Yenu.
Saya adalah manusia tiga zaman. Saya merasakan hidup di zaman Belanda,
Jepang, dan kemerdekaan. Saya lahir 28 Oktober 1934. Karena itu saya
pernah merasakan perih getirnya perjuangan. Saat itu saya sebagai
pejuang pembebesan Irian Jaya.
Ternyata setelah kemerdekaan, penduduk
Irian Jaya bukannya tambah berbudaya. Mereka tetap saja dalam
ketertinggalan. Mereka tetap telanjang. Padahal di sana banyak
berkeliaran para misionaris. Kekayaan alam yang dimiliki Irian Jaya
ternyata tak memberi dampak kemajuan kepada penduduknya.
Ini saya lihat berbeda dengan kalangan
Muslim. Kebetulan saya bergaul dengan baik dengan kaum Muslim di Irian
Jaya, terutama ABRI (sekarang TNI) yang sering mengadakan kegiatan ABRI
masuk desa pada dasawarsa 70-80-an. Mereka semua berpakaian. Mereka pun
membangunkan rumah-rumah gratis bagi warga Irian. Begitu senangnya saya
dengan mereka hingga saya pun dengan senang hati sering memberi bantuan
kepada mereka. Kebetulan saat itu saya bekerja di Departemen Pekerjaan
Umum.
Pergaulan intensif saya dengan
orang-orang Muslim itu sedikit demi sedikit menimbulkan kekaguman pada
diri saya. Mereka selalu membersihkan diri setiap hari minimal lima kali
sehari. Mereka pun selalu shalat. ”Wah, jangan-jangan karena mereka
sembahyang terus tiap hari, bumi ini menjadi berkah,” pikir saya.
Ini sangat berbeda dengan kebiasaan kami.
Kami hanya ke gereja seminggu sekali. Itu pun tidak wajib. Berarti doa
hanya sekali seminggu. Itu pun banyak di antara jemaaht gereja masih
dalam keadaan habis minum bir dan minuman keras lainnya. ”Bagaimana doa
bisa diterima kalau mabuk,” pikir saya.
Tapi itulah, kenyataaannya. Suatu saat
saya berpikir: ”Kalau Kristen terus, berarti ini melanjutkan zaman
Belanda. Masyarakat tidak akan pernah maju.” Soalnya, memang Belanda-lah
yang membawa misi Kristen di Irian Jaya pertama kali. Dan hingga kini,
misionaris tidak membangun peradaban baru. Justru mereka ingin
mempertahankan budaya Irian yang sebenarnya terbelakang.
Pergaulan saya dengan orang-orang Muslim
mengantarkan saya pada sebuah kesimpulan bahwa Islam identik dengan
kemajuan. Dan inilah yang saya lihat sendiri. Orang-orang Muslim justru
mengajak kami menggunakan pakaian. Belakangan saya baru tahu bahwa ada
kewajiban bagi setiap Muslim menutup aurat.
Begitu eratnya hubungan saya dengan kaum
Muslim ini hingga kalangan Kristen di Manokwari menyebut saya pendeta
Krimus, alias Kristen Muslim. Saya bilang kepada mereka: ”Janganlah
mengatakan seperti itu, nanti malah bisa menjadi Muslim betulan.”
Kekaguman saya atas perilaku kaum Muslim
itulah yang membuat tekad saya kian kuat untuk memeluk Islam. Saya
yakin: Islam adalah kemajuan. Pelajaran kependetaan yang saya jalani di
Gereja Tabernakel tak mampu mencegah keinginan saya memenuhi panggilan
Allah.
Jalan Berliku
Ternyata tak mudah masuk Islam. Mungkin
karena saya adalah kepala pendeta dan kepala suku besar. Hingga suatu
saat ketika saya menyampaikan niat saya kepada seorang kepala KUA di
Manokwari, dia menolak. Sepertinya dia tak berani mengislamkan saya.
Tapi niat hati ini tak bisa dibendung.
Saya akhirnya memutuskan pergi ke Jakarta demi niat tersebut. Saya
dibantu oleh saudara Khairudin, kenalan saya yang bekerja di Angkatan
Laut. Saya kemudian diantar ke Condet, menghadap seorang ulama di sana.
Di situ saya mengucapkan syahadat. Saya pun mengubah nama menjadi Ismail
Saul Yenu.
Untuk lebih meyakinkan lagi, saya dibawa
ke Masjid Al Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Saat itu bulan
Februari 2002. Keislaman saya disahkan di masjid besar itu.
”Alhamdulillah.” Setelah itu, saya pun disunat. Saya dibawa ke Bandung.
Dalam kondisi sudah tua seperti ini saya harus sunat bersama anak-anak.
Memang agak malu, tapi harus bagaimana lagi.
Masuk Islam saya ternyata sampai juga ke
Irian Jaya, Belanda, dan Jerman. Mereka gempar. Jelas mereka tak terima
langkah saya, apalagi saya punya posisi yang penting di Manokwari
khususnya Suku Besar Serui.
Karena itu saya memutuskan untuk tidak
langsung pulang. Saya ingin tinggal di Jakarta terlebih dahulu, sekalian
belajar Islam. Kebetulan saat itu adalah musim haji. Saya ingin sekali
naik haji. Berkat bantuan teman-teman di Jakarta, akhirnya saya dibantu
Pak Amien Rais untuk menunaikan haji. Dalam kondisi masih diperban, saya
berangkat haji bersama rombongan Aisyiyah.
Sepulang dari haji, saya diminta tak
langsung pulang ke Irian. Tapi saya tetap nekad. Saya yakin Allah akan
selalu menyertai kita. Saya yang sejak haji mengenakan gamis panjang dan
topi haji, berangkat naik kapal Pelni. Banyak liku-liku di perjalanan,
termasuk ketika kapal dilarang merapat di Ambon karena ada konflik. Saya
nekad meminta kapal dibolehkan sandar. Kapal pun sandar.
Ketika kapal Ciremai sampai di Manokwari,
saya justru disambut. Tidak hanya kalangan Islam tapi juga Kristen.
Saya diterima secara adat dengan cara melewati kain slopang sepanjang 40
meter berwarna biru tua. Ini adalah simbol kematian. Tapi di atas kain
itu ditaruh 100 piring yang menandakan kebangkitan. Ini artinya, sebagai
pendeta sudah mati dan bangkit lagi sebagai haji.
Sejak itu saya berusaha menyampaikan
Islam kepada siapapun. Baik kepada keluarga maupun saya datang langsung
ke gereja. Saya selalu bilang kepada mereka: ”Saya datang untuk
sampaikan firman Allah yang sebenarnya.”
Memang baru hal-hal ringan yang saya
sampaikan seperti tidak boleh mabuk, harus selalu bersih dan suci. Saya
juga menyampaikan bahwa Islam tidaklah seperti yang digambarkan oleh
para misionaris sebagai agama yang harus dibenci. Islam adalah agama
yang baik yang mengajarkan manusia untuk berbudaya luhur, tidak
telanjang seperti sekarang. ”Ajaran yang demikian baik, seharusnya bisa
diterima,” kata saya dalam setiap pertemuan.
Paling tidak hingga kini sudah ada 50
orang yang masuk Islam. Alhamdulillah. Sebanyak 20 di antaranya sudah
naik haji. Keluarga pun beberapa mengikuti jejak saya. Anak saya yang
berjumlah 37 orang, tujuh di antaranya sudah masuk Islam. Istri saya
empat orang, dua di antaranya pun sudah jadi mualaf. Alhamdulillah. Saya
akan terus berusaha agar penduduk Irian terbebas dari
keterbelakangannya dengan cara mengajak mereka masuk Islam.
Berbagai bantuan kini sedang saya
kumpulkan, terutama adalah pakaian. Saya ingin mereka berpakaian,
menutup aurat. Itulah salah satu ajaran Islam. Allahua akbar Islam akan
memebawa suku terkebelakang menjadi manuasia yang terhormat dan beradab!
Sumber : (hidaytullah)
0 komentar:
Posting Komentar